Sudah tak terhitung banyaknya jajanan lokal Indonesia yang meskipun konsepnya sederhana, namun berhasil merebut hati banyak orang. Salah satunya adalah Cilok. Kuliner yang namanya berasal dari singkatan kata aci dicolok ini, biasa dinikmati sebagai kudapan ringan oleh berbagai kalangan masyarakat ibukota.

Di depan bangunan sekolah, di stasiun-stasiun kereta, hingga di pinggir sembarang jalan, sering kita dapati gerobak cilok hadir dengan asap hangat mengepul. Kepopulerannya menginspirasi Mika Riandita untuk menciptakan Cilok Djoedes, modifikasi unik dari jajanan tersebut.

Berangkat dari usaha sampingan kecil-kecilan, saat ini Cilok Djoedes sudah hadir di berbagai kota dan platform e-commerce dengan penjualan yang gemilang. Mika berhasil mengembangkan produknya dengan resep lezat yang khas dan branding yang kuat. Kisah perjalanan bisnisnya tentu bisa menjadi inspirasi bagi para Sahabat Wirausaha yang tengah bergelut mengembangkan usaha kuliner.

Kala masih tinggal di Surabaya, Mika Riandita gemar mengonsumsi pentol, sebuah jajanan lokal mirip cilok dengan sedikit isian daging sapi atau ayam. Pentol adalah jajanan khas Surabaya dan saat Mika akhirnya pindah bekerja ke Jakarta, ia kesulitan menemukan kuliner favoritnya tersebut. “Akhirnya, saya coba minta resep ke ibu saya,” ceritanya.

Setelah beberapa kali mencoba resep yang dberikan, Mika akhirnya menemukan racikan yang pas. Di akhir tahun 2018 ia mulai berani menjajakan hasil karyanya ke kantor. Tak disangka, banyak teman-teman kerja yang menyukai cilok buatannya. Ia pun kemudian membuka pesanan dengan sistem PO (pre order).

“Pas bikin itu kepikiran buka PO ke teman-teman kantor. Kok banyak yang mau. Akhirnya aku jual dalam kemasan frozen yang udah di-packing,” ujarnya.

Jumlah pesanan pun semakin banyak dan tingkat repeat order semakin meningkat. Saat itu, dikatakan Mika, ia bisa membuat 3 kg cilok setiap kali produksi. Di waktu-waktu awal tersebut, Mika membuat sendiri adonannya setiap pulang bekerja. “Dalam sebulan saya bisa lima kali produksi, karena hampir setiap minggu buka PO,” paparnya.

Meskipun penjualan terbilang baik, namun fase awal tersebut berjalan dengan banyak hambatan. “Modalnya terbatas, freezer kurang. Jadinya kadang kalo pesenan banyak, harus PO dulu. Lalu SDM juga terbatas, karena kita menyesuaikan sama budget yang ada,” tutur Mika. Namun hal ini tidak membuatnya menyerah. Mika bertekad untuk membesarkan produk yang lahir dari tangannya sendiri ini.

Di akhir tahun 2019, Mika akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jakarta dan fokus menekuni bisnis Cilok Djoedes. Sejak itu, banyak perubahan yang terjadi pada bisnis ini, mulai dari segi kemasan, legalitas, teknik marketing, teknik promosi, hingga jumlah SDM. Dari segi marketing, Mika mulai memasarkan produknya lebih giat secara offline dan online. Ia menjalin kerjasama lewat reseller dan distributor.

 “Saat ini, kami sudah punya sekitar tiga puluh reseller dan dua distributor” ujarnya.

Tak ketinggalan, Cilok Djoedes juga hadir di beberapa marketplace seperti Shopee, Tokopedia, Lazada, Bukalapak, Blibli, hingga GrabFood dan GoFood.

Sementara dari segi promosi, Mika pun memantapkan strategi digital marketing. Ia menggunakan berbagai media sosial, mulai dari Facebook, Instagram, hingga TikTok yang sedang ramai, untuk meningkatkan brand awareness Cilok Djoedes. Strategi ini sukses menambah jumlah konsumen dan membuat masyarakat lebih mengenal produknya.

Barangkali, transformasi pada teknik branding Cilok Djoedes adalah salah satu yang terpenting bagi bisnis ini. Mika membuat logo sendiri untuk produknya, dan mulai konsisten menggunakan logo tersebut di setiap kemasan produk.

“Sebelumnya kan, hanya memakai wadah yang polos saja,” ujarnya.

Adanya logo dan nama merk yang konsisten dipakai, membuat Cilok Djoedes semakin dikenal masyarakat.

Rangkaian perubahan ini berdampak besar pada keberhasilan penjualan Cilok Djoedes. Diakui Mika, sebelum pandemi, ia bisa membuat hingga 20 kg adonan cilok dalam satu hari.

“Dalam sebulan, bisa sampai 300 – 400 kilogram kalo lagi rame,” paparnya dengan bangga.

Jumlah penjualan ini dua puluh kali lebih besar dibandingkan saat Cilok Djoedes dirintis pada tahun 2018. Ia juga berhasil mendapatkan investasi berupa mesin vakum yang bisa mengemas cilok dalam skala lebih besar dan mesin freezer yang berkapasitas hingga 1000 liter.

Saat ini, ia juga sudah tidak lagi bekerja sendiri dan memiliki total 9 pegawai yang membantunya menjalankan Cilok Djoedes.

Nama Cilok Djoedes sendiri berarti Cilok Djoewara Pedes. Ya, awalnya Mika memang ingin menonjolkan rasa pedas pada produk kuliner asuhannya tersebut. Namun nyatanya, makanan yang hanya mengutamakan rasa pedas akan kurang terasa enaknya dan kurang bisa diterima semua kalangan.

Karena itulah ia kemudian lebih ingin menonjolkan rasa lezat cilok yang dicampur daging dan isian lainnya.

Perbedaan Cilok Djoedes dengan cilok biasa paling terlihat di tekstur dan bentuknya. Umumnya, cilok biasa memiliki bentuk bulat licin dan halus dengan permukaan rata.

Namun, adonan Cilok Djoedes yang kaya akan daging dan isian lainnya membuat tekstur produk ini menjadi kasar dan tidak rata, meskipun sama-sama bulat. Ukurannya pun lebih besar dari cilok biasa yang relatif mungil. Sekilas, memang tampak seperti bakso urat. Hanya saja, Cilok Djoedes punya rasa gurih yang khas.

Saat ini Cilok Djoedes hadir dalam enam varian, yaitu Cilok Ori, Cilok Tahu, Cilok Moza, Cilok Unyil, Cilok Jamur, hingga yang terbaru Cilok Baso Aci. Semuanya tersedia dalam kemasan frozen ataupun siap makan di gerai-gerai mereka.

“Yang paling laku itu varian cilok original dan cilok unyil,” ujarnya.

Mika bersyukur dengan respon positif dari masyarakat atas produk-produk Cilok Djoedes. Uniknya lagi, kelezatan produk-produk Cilok Djoedes tidak dibuat dengan bahan tambahan seperti MSG ataupun bahan pengawet. Jaminan inilah yang membuatnya makin digandrungi para konsumen.

Kuliner merupakan salah satu ranah bisnis yang paling banyak melahirkan pesaing. Hal ini tak terkecuali dengan Cilok Djoedes. Agar lebih unggul, selama tiga tahun belakangan, Mika getol melengkapi legalitas produk-produknya.

“Sekarang kami selain sudah ada NIB, juga sudah ada sertifikat Halal dari MUI,” paparnya.

Jaminan Halal pada produk makanan memang sangat besar artinya di Indonesia untuk meningkatkan kepercayaan konsumen. Diakui Mika, hal ini tidak lepas dari peran Dinas Koperasi Tangerang Selatan yang mempermudah prosesnya. Saat ini, Mika juga sedang menunggu keluarnya izin BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) yang sudah ia urus sejak beberapa waktu lalu.

Satu hal lagi yang dilakukannya demi pengembangan bisnis adalah membuka kesempatan untuk bermitra. Berbeda dengan sistem franchise yang membutuhkan banyak izin rumit dan standarisasi, model kemitraan punya sistem bussiness opportunity yang terbilang lebih sederhana. “Mulai dari 5 juta , mereka sudah bisa menjadi mitra Cilok Djoedes. Bahan baku kita suplai. Booth-nya pakai booth portable,” jelas Mika.

Sekarang Cilok Djoedes sudah memiliki 15 mitra yang tersebar di area Jabodetabek dan Kota Serang. Melalui sistem ini, ditambah dengan jumlah reseller dan distributor yang semakin bertambah, Cilok Djoedes terus berkembang pesat.

Saat pandemi melanda Indonesia, nyatanya Cilok Djoedes tidak mengalami penurunan yang drastis dari segi omzet. Penurunan tetap ada, namun tidak sampai membuayt jatuh, sehingga Mika hanya perlu lebih ketat mengontrol pengeluaran agar bisnis tetap berputar. Cilok Djoedes berhasil bertahan berkat produk frozen andalannya.

 Pasalnya, kebiasaan masyarakat yang berubah dan lebih banyak di rumah membuat konsumen lebih gemar memesan produk frozen agar tidak repot.

Selain itu, diakui Mika, ia juga mendapat banyak bantuan dari program pelatihan digital marketing yang diadakan oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). “Jadi kami dibantu untuk on boarding di channel marketplace,” jelasnya.

Program ini memberikan Cilok Djoedes kesempatan lebih besar untuk mengekspansi bisnis di jagat maya. Hingga sekarang, Mika juga mengakui bahwa sejak pandemi penjualan di platform online lebih tinggi dibandingkan toko offline.

Setelah berhasil mengatasi pandemi, Mika berharap ke depannya Cilok Djoedes bisa terus berinovasi dan lebih memaksimalkan strategi digital marketing dan promosi yang mereka jalankan. “Kita belum ada tim digital marketing, jadi semua masih dikerjakan sendiri. Jadi belum maksimal promosi lewat sosial media,” paparnya.

Ia juga berharap nantinya Cilok Djoedes bisa mengatasi hambatan utama mereka, yaitu keterbatasan umur produk yang hanya bisa bertahan maksimal 3 hari tanpa pengawet.

“Proses produksi juga masih di rumah sendiri. Terus untuk cabang kita yang di Pasar Modern itu masih sewa juga. Jadi belum bisa memaksimalkan omzet penjualan,” tambahnya.

Jika sudah berhasil mengatasi ini, Mika percaya Cilok Djoedes punya kesempatan untuk menjangkau konsumen di area yang lebih luas lagi.

“Harapannya, Cilok Djoedes punya franchise dan go international, bisa ekspor ke negara lain, bisa dikenal di mancanegara,” ujarnya mantap.

Artinya, dengan penjualan yang sudah tinggi di dalam negeri pun, Cilok Djoedes tidak ingin kehilangan kesempatan berinovasi. Seperti tagline mereka “The Best Indonesian Meatballs”, Cilok Djoedes bertekad menjadi cilok terbaik di seantero Indonesia.