Amalia E. Maulana: Branding & Franchise

JAKARTA, FRANCHISEGLOBAL.COM - Branding bukan hanya seputar menjadikan sebuah nama atau merek menjadi Top of Mind saja. Akan tetapi, aktivitas branding tersebut wajib selalu dilakukan agar brand selalu diingat oleh target audience-nya sehingga menimbulkan transaksi di akhir proses brandingnya. Begitulah kurang lebih kalimat yang disampaikan oleh Managing Director ETNOMARK Consulting, Amalia E. Maulana.

Menurutnya, Top of Mind hanyalah permukaan saja. Paling sering terjadi adalah sebuah brand hanya sampai pada proses dikenal saja oleh konsumen, tapi tidak dipilih. Pengenalan brand ini yang disebut oleh Amalia sebagai proses Cognitive yang adanya di dalam benak atau pemikiran konsumen.

Selanjutnya, kata Amalia, yang harus diperjuangkan dalam interaksi dengan brand adalah proses Afektif, yaitu membuat konsumen mengerti value yang sedang ditawarkan, dan value itu adalah sesuatu yang disukai dan diminati.

“Proses kedua inilah yang seringkali tidak berhasil dilalui dengan baik oleh sebuah brand. Situasi ini membuat posisi brand rapuh. Karena brand yang kuat itu dikenal, dimengerti tawarannya dan kemudian diminati dan karenanya dicari sampai dapat,” ujar Wanita dengan gelar Ph.D. dari School of Marketing, University of New South Wales, Sydney, Australia ini.

Nah, sebagai pemilik brand Franchise, sejauh mana principal memastikan bahwa kekuatan brandnya terjaga? Bukan hanya ada di benak (in mind) tetapi berada di hati (in heart). Maka Top of Mind yang boleh dibilang sebagai sebuah ukuran keberhasilan brand, harus selalu didampingi oleh ukuran keberhasilan lainnya, seperti disampaikan sebelumnya yaitu Top in Heart (diminati).

“Selain end customer, ada lagi yang harus diperjuangkan oleh franchisor yaitu posisinya di dalam hati para franchisee-nya. Apakah Top in Heart ini telah diraihnya atau hanya sekadar hubungan transaksional saja? Itu yang harus menjadi perhatian khusus oleh para franchisor,” kata dia.

Menurut Amalia, sebuah brand franchise bisa dikatakan unggul apabila perusahaannya bisa mengelola berbagai stakeholders dengan baik. Karena terkadang ada seorang franchisor yang tidak mau mengerti atau memahami kebutuhan franchisee-nya dengan kata lain mereka menerapkan rule ‘take it or leave it’. Bisnis-bisnis seperti inilah yang menurut Amalia akan terdegradasi dengan cepat karena mereka menerapkan one-way communication dan leadership.

“Karena seorang franchisee itu berada di garda terdepan dan berhadapan secara langsung dengan konsumennya. Kemudian end-customer need juga kan selalu bergerak dengan dinamika yang begitu cepat, sehingga franchisor itu tidak akan mampu menjaring feedback dan aspirasi ini tanpa adanya kerjasama yang baik dengan franchisee-nya,” papar Amalia.

Oleh karenanya, posisi franchisee menjadi sangat strategis bagi franchisor. Selain sebagai insights generator, franchisee juga perlu dipandang sebagai brand ambassador dan guardian. “Kesimpulannya adalah baik franchisor maupun franchisee akan sama-sama menghasilkan tangible dan intangible benefits,” tutup Amalia.[]

DISCLAIMER
FranchiseGlobal.com tidak bertanggungjawab atas segala bentuk transaksi yang terjalin antara pembaca, pengiklan, dan perusahaan yang tertuang dalam website ini. Kami sarankan untuk bertanya atau konsultasi kepada para ahli sebelum memutuskan untuk melakukan transaksi. Tidak semua bisnis yang ditampilkan dalam FranchiseGlobal.com menerapkan konsep franchise semata, melainkan menggunakan konsep franchise, lisensi, dan kemitraan.

Member of:

Organization Member:

Media Partner:

Our Community: