Sebuah Perusahaan Maju Belum Tentu Layak Di Waralabakan

Aspek financial karena ini adalah aspek yang sangat menentukan keberlangsungan bisnis waralaba. Karena dalam menjalani suatu bisnis, tentunya salah satu pengukuran keberhasilannya adalah ada tidaknya profit yang dihasilkan. Pada saat satu perusahaan berkembang dan terbukti menguntungkan belum tentu serta merta layak untuk di waralabakan. Banyak aspek yang harus dipersiapkan. Inilah poin utama dalam diskusi Selasa Sharing (SelaSha) yang diadakan di group Whatsapp WALI FAMILY oleh Perhimpunan Waralaba Dan Lisensi Indonesia (WALI).

Sebagai moderator dalam SelaSha kali ini ialah Owner Salon MOZ5, Yulia Astuti. Menurutnya banyak aspek yang harus dipersiapkan manakala satu perusahaan layak untuk di waralabakan. “Dari sisi franchisee kita semua mengetahui membuka outlet franchise ada biaya tambahan yang dikeluarkan oleh franchisee selain operational dan modal kerja outlet misalnya franchise fee, royalty fee, training fee dan lainnya. Dari sisi franchisor harus mempertimbangkan apakah royalty fee yang diterima cukup untuk membiayai support sistem yang kita bangun,” katanya.

Dari hal itu, lanjut Yulia, setelah pendapatan dipotong biaya rutin dan lainnya apakah masih ada profit yang tersisa? Bagaimana dengan BEP dan ROI nya? “Kemudian jika dari sisi franchisor, bagaimana jika royalty fee tidak mencukupi? Lalu bagaimana menentukan penghitungan biaya yang kita kenakan,” tanyanya.

Sebagai pemateri, Pengamat Senior Waralaba, Royandi Yunus meminta agar menyamakan persepsi terlebih dahulu soal BEP dan ROI. Menurutnya, ROI = Return on investment, satuan nya % atau x. Rumusnya net profit/ investasi. “BEP satuannya waktu. Rumusnya investasi dibagi sisa cash masuk (surplus). ROI hanya berlaku untuk 1 tahun perhitungan saja, sehingga tidak bisa dibandingkan dengan bunga deposito,” ucapnya.

Roy melanjutkan, dalam persiapan memasarkan bisnis melalui sistem franchise, maka ada 3 hal yang perlu diperhitungkan secara finansial. Pertama, lanjut Roy, Feasibility bisnis sendiri apakah bisnis kita feasible dan sudah mengikuti standar industri secara umum dalam hal struktur keuangan secara internasional. “Misal untuk bisnis F&B: Gross Margin= 60-65%. Net Profit= 15-20%. Tambah besar, tambah bagus. Bila lebih kecil, perlu pembenahan dengan meningkatkan efisiensi dan efektifitas dari raw material (hpp), prosedur dan tenaga kerja,” katanya.

Selanjutnya, terang Roy, Feasibility bisnis franchise. Yaitu apakah bisnis yang telah dibebani Royalty, Franchise Fee, Advetising fee (dan fee lain bila ada) masih menguntungkan dan menarik dimata calon Franchisee. “Juga dengan pemungutan fee tersebut, apakah Franchisor mampu menutupi biaya operasinya dalam memberikan support kepada para Franchiseenya. Simulasi ini juga akan mengakibatkan keluarnya jumlah minimum Franchisee yang wajib direkrut,” tuturnya.

Ketiga yakni Franchisability. Menurut Roy, apakah investasi dalam membangun organisasi Franchisor (beserta program Marketing dan Supports) bila di convert ke outlet (atau beberapa outlet), akan menghasilkan keuntungan yang lebih baik dari pada beberapa outlet tersebut. “Umumnya simulasi ini akan mempengaruhi jumlah target minimal Franchisee yang wajib direkrut. Bila jumlah target Franchisee dirasakan tidak mungkin dicapai, maka bisnis tersebut otomatis menjadi tidak franchisable. Dan sebaliknya. Maksudnya, bila ternyata memasarkan dengan sistem franchise tidak menguntungkan, kenapa harus di franchisekan, karena cara pemasaran sangat banyak,” ucapnya.

Ketua Umum Perhimpunan WALI, Levita Supit mengatakan untuk menjadi franchisor tidak segampang yang dipikirkan karena untuk menjadi franchisor butuh persiapan matang dari modal, SDM, training dan yang lainnya. “Modal di butuhkan tidak hanya pada saat awal saja. Ada sebagian orang berpikir dengan memfranchisekan bisnis nya akan mendapatkan uang banyak tanpa memikirkan persiapan yang matang. Memang kalau cuma punya 1 franchise , belum bisa meng cover pengeluaran franchisor dengan royalti fee. Maka nya perlu di pelajari, apakah bisnis kita sudah layak di franchise kan,” tuturnya.

Diakhir materi, Roy mengambil kesimpulan yakni:

1. Bisnis model yang dapat di franchisekan adalah yang sudah terbukti untung (proven).

2. Bisnis model yang dipasarkan secara franchising harus memiliki keuntungan yang menarik (sesuai standar industri)

3. Penghasilan Franchisor adalah dari Royalty, bukan Franchise Fee.

4. Semakin untung Franchisee, semakin untung Franchisor.

5. Umumnya, semakin kecil investasi bisnis yang di franchisekan, semakin banyak personel di organisasi Franchisor yang dibutuhkan.

DISCLAIMER
FranchiseGlobal.com tidak bertanggungjawab atas segala bentuk transaksi yang terjalin antara pembaca, pengiklan, dan perusahaan yang tertuang dalam website ini. Kami sarankan untuk bertanya atau konsultasi kepada para ahli sebelum memutuskan untuk melakukan transaksi. Tidak semua bisnis yang ditampilkan dalam FranchiseGlobal.com menerapkan konsep franchise semata, melainkan menggunakan konsep franchise, lisensi, dan kemitraan.

Member of:

Organization Member:

Media Partner:

Our Community: