Angkat Tema “Sengketa Bisnis Waralaba”, Perhimpunan WALI Sukses Gelar Focus Group Discussion

Perhimpunan Waralaba Dan Lisensi Indonesia (WALI) kembali menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas serta mencari solusi atas segala macam persoalan dunia waralaba di Indonesia. Kali ini, FGD Perhimpunan WALI mengangkat tema “Sengketa Bisnis Waralaba” yang diadakan di Eat&Eat Resto FX Sudirman, Jakarta.

Ketua Umum Pehimpunan WALI, Levita Supit mengemukakan bahwa sengketa bisnis waralaba terjadi lantaran didasari oleh perbedaan prinsip oleh franchisor dan franchisee. Menurutnya, perbedaan prinsip itu diawali manakala seorang franchise tidak membaca perjanjian dengan teliti. Padahal, tambah Levita, perjanjian waralaba merupakan poin penting untuk menyamakan visi, misi sehingga muncul kesepakatan bersama. “Biasanya seorang Franchisee tidak mengerti isi dari perjanjian, franchisor pun merasa tidak tahu menahu. Pokoknya keduanya ingin cepat-cepat selesai,” katanya saat membuka forum diskusi tersebut.

Lebih lanjut Levita Supit menambahkan bahwa sengketa bisnis waralaba juga bisa terjadi manakala seorang franchisor kurang perhatian terhadap franchisee. Sehingga, kata Levita, franchisee merasa tidak diperhatikan oleh franchisor. “Yang pada akhirnya tidak ada lagi satu visi dan misi,” terangnya.

Jika sudah terjadi sengketa, kata Levita, maka tidak ada jalan lain penyelesaiannya melainkan melalui meja hijau alias pengadilan. Namun, katanya, penyelesaian di meja hijau akan menimbulkan beberapa permasalahan baru seperti biaya yang makin membengkak ditambah disoroti oleh media massa. “Jadi meja hijau bukanlah satu penyelesaian yang konkrit, namun bagi saya balik lagi ke awal yaitu kepada perjanjian waralaba. Makanya, perjanjian waralaba harus berisikan poin-poin yang jelas,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Perhimpunan WALI, Evi Diah Puspitawati mengatakan bahwa sengketa bisnis terjadi paling banyak terjadi lantaran franchisee banyak yang tidak membayar royalty. Namun, kata Evi, franchisee tidak bayar royalty disebabkan juga oleh kesalahan franchisor yang kurang merangkul para franchisee. “Franchisor dan franchisee ibarat ayam dengan telur. Satu sama lain saling keterkaitan,” ujarnya.

Terkait royalty yang jarang dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor, Levita menambahkan hal tersebut bisa dilatarbelakangi oleh menurunnya omset dari franchisee. “Jika terjadi hal demikian, maka franchisor bisa membantu apa kepada franchisee? Sehingga, franchisor tidak hanya menyalahkan franchisee nya saja,” tuturnya.

Masih terkait masalah sengketa bisnis waralaba, Sekjen Perhimpunan WALI, Tri Raharjo menambahkan bahwa masalah sengketa waralaba yang suka terjadi ialah dengan masalah Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Selanjutnya, kata Tri, sengketa bisnis juga bisa terjadi manakala seorang franchisee di perjanjian waralaba tercatat hanya berhak memiliki satu outlet. “Tapi kenyataannya bisa membuka tiga outlet,” ujarnya.

Dengan adanya sengketa bisnis waralaba itu, Founder Franchiseglobal.com ini berharap para Franchisor merangkul para franchisee bukan hanya sebagai partner of business, tapi juga mernagkul lebih dalam lagi layaknya keluarga. “Misalnya saja, mengundang ke acara ulang tahun atau apapun yang bisa menambah kedekatan dengan franchisee,” tuturnya.

Franchise Manager Quick Chicken, Marhaendra mengemukakan bahwa permasalahan dengan franchisee biasa terjadi manakala seorang franchisee mulai bersikap nakal dengan mengurangi bumbu-bumbu olahan. “Padahal, bumbu merupakan satu poin utama yang tidak bisa di ganggu gugat,” ucapnya.

Owner Dapoer Roti Bakar, Denny Dhelanto menambahkan bahwa permasalahan dengan franchisee biasa terjadi manakala seorang franchisee tidak mematuhi SOP dan ada sejumlah franchisee nakal yang mengurangi bahan baku. “Namun saya melakukannya dengan pendekatan yang baik terhadap para franchisee, kita melakukan teguran secara pendekatan yang persuasif,” terangnya.

Sedangkan Owner Salon MOZ5, Yulia Astuti mengungkapkan bahwa seorang franchisor juga harus siap menelan pil pahit dengan adanya calon franchisee yang mempunyai etika tidak baik dalam berbisnis. Menurutnya, etika tidak baik dalam bisnis yang dilakukan oleh franchisee berbagai macam modelnya.

“Salah satunya ialah franchisee yang tidak ingin membayar royalty. Padahal, franchisor sudah melakukan yang terbaik dengan merangkul franchisee. Namun franchisee tetap memunculkan berbagai alasan ketika tidak ingin membayar royalty dengan alasan omset turun, padahal ketika di cek omset tidak turun. Yang pada akhirnya si franchisee memutuskan hubungan bisnis waralaba. Namun ternyata si franchisee itu justru membuka core bisnis baru yang serupa,” ucap Yulia.

Sebagai penutup, Levita dan Evi menilai bahwa penyelesaian sengketa ini bisa diminimalisir manakala franchisor dan franchisee mencari win-win solution dengan mengembalikan semua permasalahan itu kedalam perjanjian waralaba ketimbang memilih jalur hijau.

Acara ini dihadiri oleh seluruh pengurus perhimpunan WALI serta para owner dari sejumlah brand waralaba terkemuka di Indonesia.

 

DISCLAIMER
FranchiseGlobal.com tidak bertanggungjawab atas segala bentuk transaksi yang terjalin antara pembaca, pengiklan, dan perusahaan yang tertuang dalam website ini. Kami sarankan untuk bertanya atau konsultasi kepada para ahli sebelum memutuskan untuk melakukan transaksi. Tidak semua bisnis yang ditampilkan dalam FranchiseGlobal.com menerapkan konsep franchise semata, melainkan menggunakan konsep franchise, lisensi, dan kemitraan.

Member of:

Organization Member:

Media Partner:

Our Community: